Selasa, 18 Maret 2014

Waktu itu... Ketika Lima Bulan Yang Lalu...

Lima bulan yang lalu tempat ini adalah hamparan padi yang menghijau dengan angin sepoi-sepoi berhembus. Tempat ini dulu merupakan tempat santai favorit bagi keluargaku juga teman-temanku yang kebetulan datang ke rumahku. Semua mengatakan lokasi rumahku ini sangat nyaman. Aku sendiri memang sering santai disini. Di teras belakang rumahku yang langsung berhadapan dengan tanah luas yang ditanami padi dengan sedikit digenangi air memang sangat nyaman untuk berleha-leha disini, apalagi kalau sudah siang sehabis Zhuhur dimana angin sepoi-sepoi berhembus sejuk membuat mata mengantuk dan burung-burung kecil berkejar-kejaran dan sesekali hinggap di rerumpunan padi dan menambah damai suasana.

Aku baru nyadar kalau tempatku ini sudah tak begitu jauh dengan laut. Hal itu ditandai dengan burung bangau (kuntul putih) terbang berkelompok. Sewaktu lahan ini dibajak untuk di tanami padi yang baru, maka tanah luas ini dibiarkan kosong beberapa hari, sejauh mata memandang hanya genangan lumpur, disitulah burung-burung bangau putih pernah singgah dan mencari makanan mereka berupa ikan-ikan kecil dan kodok disana. Pemandangan yang sangat langka bagiku. Mungkin sobat tak asing dengan burung bangau, tapi aku tak pernah melihat burung-burung seperti itu berkeliaran sewaktu aku masih tinggal di kota kecuali di kebun binatang. Jadi ya takjub saja rasanya tiba-tiba lihat burung bangau secara langsung di dekat rumahku pula. Kesannya lokasi rumahku alami sekali kayak di desa-desa yang permai gitu? Padahal tempatku ini kota lho, tapi kota kecil yang masih banyak lahan persawahan di kanan kiri.

saat masih indah 5 bulan yang lalu
Saat lima bulan yang lalu

Semua pemandangan indah dan damai itu adalah lima bulan yang lalu. Sekarang tinggal kenangan. Lahan persawahan yang ditumbuhi padi-padi yang menguning itu sekarang sudah di timbuni tanah padat dan pasir. Beberapa perumahan sedang di bangun disana, sudah hampir rampung. Aku sedih melihatnya, sedih karena aku tak bisa lagi melihat pemandangan indah di beranda belakang rumahku. Tak bisa lagi bersantai-santai menikmati hembusan angin sejuk, tak bisa lagi melihat ikan-ikan kecil yang berenang di perairan sawah dan tak bisa lagi melihat burung-burung berterbangan sambil bercuit-cuit, dan aku tak kan pernah lagi melihat sang bangau disana dengan paruh dan kaki panjang mereka. Dasar PIHAK PENGEMBANG YANG KEJAM! :D Ah andaikan aku orang kaya, aku akan beli semua tanah-tanah persawahan itu, dan tak kan kan ku jual atau tak kan ku dirikan bangunan disana. Tempat itu akan aku biarkan alami.

Di samping beranda belakang rumahku itu aku pernah menguburkan dua kucingku yang mati, hiks.. Beneran, kalau aku ingat lagi ini, rasanya larut dalam kesedihan. Rasanya belum pernah aku sesedih ini, padahal aku dulu pernah mengalami kematian kucing-kucingku yang pernah ku pelihara, tapi tak pernah sesedih ini. Di teras belakang rumahku yang dulunya nyaman itu adalah tempat bersantainya dua ekor kucingku itu. Jadi kalau aku kebetulan sedang ke beranda belakang, pasti keingat lagi dengan kucing-kucingku itu. Maaf ya kalau kedengarannya melo? Bagi anda-anda yang mudnya tak sefaham dengan cerita kayak ginian, abaikan saja ya? Alam kita beda. Aku ada di dunia nyata, sedangkan situ di dunia lain (ghaib), Jadi ga kan nyambung karena alam kita beda! Hehe... Piss :D

si Kapas kucingku
Saat kucingku masih hidup

Tempatku yang sekarang ini memang rada sejuk kalau pagi dan malam, kalau siang sih panas gersang. Hampir seluruh daerah ini adalah persawahan. Rumah sih sudah lumayan banyak, tapi jalan-jalan/gang-gang banyak yang buntu, mentok dengan sawah. Jadi jangan terlalu PEDE bagi yang belum mengenal tempat ini dengan memasuki jalan-jalan/ gang-gang kecil disini, harus bertanya dahulu kepada penduduk disini, kira-kira jalan ini nembus ga di jalan besar sana? Dimana-mana terlihat orang-orang sedang membangun rumah. Sebentar lagi, entah 10 atau 15 tahun lagi tempat ini akan ramai seperti di kota. Jika sudah ramai, otomatis tak ada lagi pemandangan yang hijau-hijau menyegarkan mata, tak ada lagi angin berhembus, yang ada keramaian, bising, panas dan sumpek. Jika saat ini aku menyusuri jalan raya dengan pemandangan serba hijau di kanan dan kiri, mungkin beberapa tahun lagi yang terlihat bangunan-bangunan ruko, rumah-rumah minimalis dan mewah seperti yang ada di Medan. Di Medan dulunya juga banyak lahan persawahan, sekarang habis, tak satu pun yang tersisa. Aku jadi ingat sama perkataan adikku, sewaktu kami baru pindah ke tempat baru ini, suasana masih alami, ketika melihat ikan-ikan kecil, belut dan kodok yang berenang di air persawahan dan sejumlah mahluk-mahluk air lainnya, dia berkata, "wah masih ada ikan dan belut di sini ya, di Medan mana ada lagi seperti ini?" Ya, tak kan ada dijumpai yang namanya ikan di parit-parit/sungai-sungai di kota Medan, kecuali limbah, nyamuk dan kotoran yang mengambang. Dulu di sungai-sungai yang membelah kota Medan dengan airnya yang kuning dan butek masih ada hidup ikan-ikan sapu-sapu disana. Tapi sekarang tak ada lagi. Bayangkan saja, ikan sapu-sapu yang tahan air limbah saja bisa musnah, apalagi ikan normal yang hidup di air yang sehat.

Di satu sisi aku aku mendukung positif dengan di diubahnya lahan-lahan persawahan untuk pemukiman penduduk dan segala fasilitasnya, tapi di sisi lain ga terima lihat kehidupan alami disana yang tergusur habis musnah. Pengennya sih sebagian lahan hijau/persawahan di bikin rumah pemukiman, sebagian lagi tidak diusik untuk menyejukkan suasana.

Memang, sudah sifatnya manusia yang kerjanya cuma merusak dan mencemari bukannya memelihara dan melestarikan lingkungan di sekitarnya. Manusia pemusnah segalanya!

0 komentar:

Posting Komentar